Keberadaannya mulai menjadi sorotan akan wajah negara Indonesia ke depan. Banyak pihak mengagumi bagaimana cara mereka berpikir dan kemahirannya memainkan teknologi yang sedikit-banyak mengubah lanskap bisnis saat ini. Akan tetapi, untuk urusan hunian, generasi yang lahir sejak 1980 hingga 1999 ini, dianggap cukup mengkhawatirkan. Ya itu lah milenial.
Kekhawatiran terhadap milenial tercermin dari survei yang dilakukan Rumah123.com pada Desember 2016. Menurut survei itu, 94% kaum milenial berusia 23-37 tahun memiliki kisaran gaji dibawah Rp12 juta, yang mana gaji sebesar itu dianggap hanya mampu rumah kurang dari Rp3,6 juta per bulan.
Data dari sumber yang sama menyebut, untuk kawasan Jakarta, 95% suplai properti menembus harga di atas Rp480 juta. Jika dihitung-hitung, milenial yang memiliki kemampuan cicil Rp3,6 juta per bulan membutuhkan waktu hingga 10 tahun lebih untuk bisa memperoleh rumah layak dengan harga terendah.
Jika harus mencari rumah yang lebih murah lagi, survei tersebut menyatakan bahwa hanya 1.76% suplai rumah di Jakarta dibanderol seharga di bawah Rp300 jutaan. Sementara untuk harga rumah di atas Rp 400 juta, cukup realistis dijangkau oleh milenial yang berpenghasilan lebih dari Rp12 juta per bulan. Milenial tipe ini hanya berkisar 6% dari total populasi anak muda ibu kota.
Banyak faktor yang membuat milenial enggan membeli hunian. Selain karena harganya yang terus naik melebihi rerata kenaikan gaji. Milenial nampaknya sudah nyaman dengan sistem yang mereka bangun: sharing economy atau ekonomi berbagi. Bagi milenial saat ini, kebutuhan primer bukan lagi sandang, pangan, papan; melainkan terdapat gaya hidup dan travelling.
Dengan era keterbukaan dan sharing economy, cukup menguntungkan bagi milenial untuk menyewa apartemen bersama-sama. Karakter milenial yang suka berpergian, membuat mereka bebas menentukan di mana mereka tinggal di kemudian hari. Apalagi, mereka terbilang jarang berada di rumah.
Karenanya, apartemen dinilai cocok bagi Generasi Y tersebut. Kehidupan mobile menjadikan generasi ini tidak ingin dibebani dengan biaya tinggi dari unit ukuran besar. Alhasil, banyak pengembang properti menawarkan apartemen kepada milenial dengan ukuran yang amat mungil, dari 22 m2 untuk tipe studio (satu kamar tidur), hingga 55 m2 untuk dua kamar tidur.
Dibandingkan dengan rumah yang harga tanahnya naik 10% hingga 20% per tahun, apartemen jauh lebih terjangkau. Beberapa pengembang properti saat ini juga aktif membangun hunian vertikal untuk menampung demand kebutuhan properti generasi milenial. Salah satu apartemen di kawasan Pondok Cabe, Jakarta Timur, misalnya menawarkan apartemen seharga Rp300 juta dengan down payment (uang muka) yang bisa dicicil.
Milenial adalah generasi yang mementingkan kenyamanan. Mereka menganggap apartemen bisa memenuhi kebutuhan harian dan sosial mereka tanpa harus berjibaku dengan kemacetan. Banyak apartemen saat ini menawarkan fasilitas penunjang seperti pusat kebugaran, shopping center, kafe, restoran, hingga taman untuk jogging track.
Keuntungan lain tinggal di apartemen adalah Anda tidak mesti melakukan perawatan hunian yang banyak. Millennial bisa fokus menjaga interior, ketimbang eksterior.
Karakter YOLO (You Only Live Once) yang banyak dijadikan prinsip milenial, membuat mereka bebas untuk bekerja dimanapun dan siap bepergian jarak jauh untuk waktu yang relatif lama. Karenanya, apartemen cukup diminati karena memiliki potensi investasi yang menguntungkan.
Milenial bisa dengan mudah menyewakan apartemen dengan yield 6%-8%. Apalagi saat ini, banyak situs berbagi kamar seperti AirBnB di mana milenial bisa memperoleh keuntungan recurring (berulang) dari pengelolaan rental apartemen mereka di situs tersebut.
Dengan pendapatan tambahan, milenial dapat menambah pos pengeluaran untuk asuransi yang lebih advance. Dibuat sesuai dengan kebutuhan milenial yang memiliki kehidupan dinamis dan aktif. Dengan segala ketidakpastian yang terjadi di waktu mendatang, milenial bisa menghadapi apapun yang mungkin terjadi kelak. Apakah Anda juga merasa demikian?