Lompat ke konten utama
Kesehatan Fisik

Apa Itu Happy Hypoxia dan Bagaimana Cara Mencegahnya?

03/2023
big emergency sign

Pandemi COVID-19 belum berakhir. Selain menerapkan gaya hidup sehat, beberapa hal juga perlu Anda perhatikan, termasuk satu di antaranya mengenal beberapa penyakit atau gejala yang berhubungan dengan kondisi para pasien COVID-19. Beberapa waktu lalu, satu di antaranya yang ramai diperbincangkan adalah happy hypoxia.

Happy hypoxia
 dianggap sebagai "pembunuh dalam senyap" karena dianggap tidak memiliki gejala sama sekali bagi para penderitanya. Penyakit ini mengancam nyawa karena akan membuat kadar oksigen para penderitanya menjadi sangat rendah, namun tidak disertai gelaja kesulitan bernapas.

Profesor dari Loyola University Chicago Stritch School of Medicine, Martin J Tobin, seperti dikutip dari DetikHealth 26 Agustus 2020 bahkan menyebutkan, happy hypoxia sangat membingungkan untuk diketahui penyebab dan gejalanya bagi para dokter karena justru bertentangan dengan biologi dasar.

Pernyataan Martin J Tobin itu dituangkan dalam riset berjudul Why COVID-19 Silent Hypozemia is Baffling to Physicians dan dipublikasikan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. Riset tersebut melibatkan 16 pasien dengan kadar oksigen sangat rendah dan 50%-nya tanpa sesak napas.

Saat pasien mengalami happy hypoxia, mereka tidak menyadari tubuhnya kekurangan oksigen. Padahal, umumnya tubuh manusia secara otomatis akan bernapas lebih cepat (dyspnea) saat kadar oksigen dalam darahnya berkurang.

Namun, menurut Dokter Spesialis Paru, Erlina Burhan, kepada BBC News 9 Oktober 2020, adanya virus COVID-19 membuat kerusakan dalam tubuh, sehingga alur pemberian sinyal sesak ke otak di dalam tubuh terblokir. Alhasil, otak tidak memberikan respons kepada tubuh untuk melakukan pengambilan oksigen.

Kadar oksigen normal dalam darah manusia adalah di atas 95%. "Saat kadar oksigen berada di bawah 90%, seseorang akan bernapas cepat, dan pada titik 75%, orang bisa kehilangan kesadaran atau pingsan," kata Erlina Burhan.

 

Kapan happy hypoxia muncul?

Happy Hypoxia diperkirakan pertama kali muncul setelah Corona virus mewabah di Wuhan, China. Dalam artikel berjudul Critical Care Crisis and Some Recomendations During COVID-19 Epidemic in China diungkapkan, banyak pasien berusia lanjut di Wuhan yang mengalami gagal napas, namun tanpa disertai gejala gangguan pernapasan.

Awalnya, para pakar medis di China menggunakan istilah Silent Hypoxemia. Namun, istilah tersebut berkembang menjadi happy hypoxia, karena para pasiennya tidak mengalami kesulitan bernapas, sehingga terus beraktivitas, tanpa mengetahui kadar oksigen dalam darahnya terus berkurang.

Kondisi itulah yang pada akhirnya membuat para ahli medis kebingungan karena para pasien tidak mengalami keluhan di bagian pernapasan saat melakukan pemeriksaan rontgen dan CT Scan. Tercatat pada periode tersebut, sekitar 18,7% pasien COVID-19 di Wuhan mengidap happy hypoxia.

 

Cara mendeteksi pasien happy hypoxia

Meski tanpa gejala, mendeteksi happy hypoxia dalam tubuh sebenarnya bisa dilakukan. Biasanya, pasien yang mengalami kondisi tersebut akan mengalami gejala-gejala ringan seperti badan lemas dan demam.

Apabila Anda mengalami gejala tersebut, meski tanpa disertai keluhan pernapasan, sebaiknya segera periksa ke dokter. Sebab, beberapa fakta menyebutkan, kesalahan utama pasien yang mengalami kondisi ini adalah tidak segera memeriksakan diri ke dokter, sehingga pada akhirnya dapat berakibat fatal.

Anda juga bisa memeriksakan diri melalui alat pulse oximeter. Alat tersebut dapat membantu mengecek kadar oksigen, sehingga saat kadar oksigen di dalam darah tercatat berada di level rendah, Anda bisa segera ke rumah sakit untuk mendapatkan tindakan lanjutan dari para ahli medis.

Cara melakukan pemeriksaan dengan alat ini pun cukup mudah karena Anda tinggal melakukan pemasangan di ujung jari. Pada orang sehat, angka saturasi pada Pulse Oximeter biasanya akan berada pada 95-100%.

Sementara itu, menurut Juru Bicara COVID-19 Universitas Sebelas Maret (UMS), Jawa Tengah, Tonang Dwi Ardiyanto, cara lain pun bisa dilakukan untuk mendeteksi happy hypoxia. Caranya adalah dengan mencoba duduk tegap, dan mengambil napas dalam-dalam sebanyak dua atau tiga kali.

Apabila dalam kondisi normal yang tidak mengalami masalah Hypoxia, aktivitas tersebut tidak akan menjadi masalah. Namun, menurut Tonang Dwi Ardiyanto, apabila saat melakukannya ada tanda-tanda seperti mengalami batuk atau tersendak ada kemungkinan risiko mengarah ke gejala happy hypoxia.

 

Cara mencegah happy hypoxia

Saat ini, salah satu cara paling ampuh untuk mencegah happy hypoxia adalah dengan menerapkan 3M, yaitu Memakai Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan. Cara ini sebenarnya sudah digaungkan sejak beberapa bulan lalu kepada seluruh masyarakat pada masa pandemi COVID-19.

Dengan tertib melakukan hal di atas, tidak hanya happy hypoxia, risiko penularan virus COVID-19 pun dapat dilakukan. Hanya saja, apabila Anda mengalami gejala-gejala seperti demam, batuk terus-terusan sebaiknya segera periksakan diri ke dokter agar penanganan dapat dilakukan dengan baik.

Selain itu, jangan lupa pula untuk selalu menerapkan gaya hidup sehat, dengan menjaga konsumsi makanan dan berolahraga. Imunitas tubuh menjadi salah satu hal krusial yang perlu Anda jaga, terlebih ketika kita berkutat dengan situasi pandemi COVID-19 yang masih gelap kapan berakhirnya.